Di balik
Filosofis Sunda
Oleh Sri Lestari
“Lamun hayang peurah, kudu peurih”. Saya ingat sekali ketika saya masih duduk di bangku SMP, saya sering mendengar kalimat ini dari guru
ngaji saya (
Bapak Nursin) saat mengakhiri pembelajaran. Jika hanya sekilas mendengarkannya
tentu tak akan mengerti pesan apa yang tersirat di dalamnya. Peurah artinya bisa (racun yang biasanya terdapat
pada binatang) yang dapat menyebabkan luka, busuk, lumpuh, membuat tak berdaya atau mati pada sesuatu yang hidup. Peurih artinya
pedih, rasa sakit seperti luka yang dicuci (dibersihkan). Namun, dalam konteks
kalimat ini peurah dan peurih merupakan sebuah analogi yang
memiiki arti yang sangat mendalam.
Lebih luas dijelaskan, peurah adalah hasil dari peurih.
Hasil dari segala jirih payah dalam mencapai
sesuatu. sesuatu disini berarti segala keberhasilan berupa ilmu pengetahuan,
kebijaksanaan, kekuasaan dan pengaruh terhadap
sesuatu. Jika seseorang ingin disegani dan dihormati, maka harus
memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Layaknya seekor binatang
berbisa yang banyak ditakuti oleh binatang lain karena bisanya. Adapun peurih adalah
kepedihan, kesulitan, kesakitan dalam menggapai cita-cita. Segala tantangan
yang menghalangi perjuangan harus bisa dilewati, karena sejatinya segala
halanyan yang dihadapi semasa perjuangan adalah sebuah latihan dalam menghadapi
kehidupan yang sebenarnya. Jangan jadikan kesulitan sebagai alasan untuk
mengeluh.
Setelah
digambarkan sedikitnya mengenai makna dari kalimat pribahasa “ lamun hayang
peurah, kudu peurih” kalimat
ini mengandung filosofis yang mendalam.
Rumus kehidupan masyarakat Sunda dalam memaknai kehidupan. Tak ada sesuatu yang
berujud di dunia ini tak memiliki proses, meskipun itu hal tersebut gaib.
Semuanya merangkak menuju kesempurnaan, menuju keabadian. Proseslah yang akan
mengantarkan kita pada kesempurnaan itu.
Pesan yang disampaikan secara turun temurun melalui lisan ini
menggambarkan bahwa masayarakat Sunda telah berfolosofi sebagai bentuk
berfikir. Hal ini membuktikan, meskipun tidak ada dokumen yang mencatat
secara jelas mengenai sistematikanya karena terhalang tradisi yang ada, masyarakat Sunda pada saat itu tetap mengembangkan pemikirannya melalui pribahasa. Seperti yang dikatakan Ajip Rosidi bahwasannya jika seseorang menuliskan hasil berfikir apalagi bersikap kritis
dianggap kurang ajar. Henteu nyunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar