Minggu, 08 Mei 2016

Di balik Filosofis Sunda
 Oleh Sri Lestari
Lamun hayang peurah, kudu peurih”. Saya ingat sekali ketika saya masih duduk di bangku  SMP, saya sering mendengar kalimat ini dari guru ngaji saya  ( Bapak Nursin) saat mengakhiri pembelajaran. Jika hanya sekilas mendengarkannya tentu tak akan mengerti pesan apa yang tersirat di dalamnya. Peurah  artinya bisa (racun yang biasanya terdapat pada binatang) yang dapat menyebabkan luka, busuk, lumpuh, membuat tak berdaya  atau mati pada sesuatu yang hidup. Peurih artinya pedih, rasa sakit seperti luka yang dicuci (dibersihkan). Namun, dalam konteks kalimat ini peurah dan peurih merupakan sebuah analogi yang memiiki arti yang sangat mendalam.
            Lebih luas dijelaskan, peurah  adalah  hasil dari peurih. Hasil dari segala jirih payah dalam mencapai sesuatu. sesuatu disini berarti segala keberhasilan berupa ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, kekuasaan dan pengaruh terhadap  sesuatu. Jika seseorang ingin disegani dan dihormati, maka harus memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Layaknya seekor binatang berbisa  yang banyak ditakuti oleh  binatang lain karena bisanya. Adapun peurih adalah kepedihan, kesulitan, kesakitan dalam menggapai cita-cita. Segala tantangan yang menghalangi perjuangan harus bisa dilewati, karena sejatinya segala halanyan yang dihadapi semasa perjuangan adalah sebuah latihan dalam menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Jangan jadikan kesulitan sebagai alasan untuk mengeluh.
            Setelah digambarkan sedikitnya mengenai makna dari kalimat pribahasa “ lamun hayang peurah, kudu peurih”  kalimat ini  mengandung filosofis yang mendalam. Rumus kehidupan masyarakat Sunda dalam memaknai kehidupan. Tak ada sesuatu yang berujud di dunia ini tak memiliki proses, meskipun itu hal tersebut gaib. Semuanya merangkak menuju kesempurnaan, menuju keabadian. Proseslah yang akan mengantarkan kita pada kesempurnaan itu.

Pesan yang disampaikan secara turun temurun melalui lisan ini menggambarkan bahwa masayarakat Sunda telah berfolosofi sebagai bentuk berfikir. Hal ini membuktikan, meskipun tidak ada dokumen yang mencatat secara jelas mengenai sistematikanya karena terhalang  tradisi yang ada, masyarakat Sunda pada saat itu tetap mengembangkan pemikirannya melalui pribahasa. Seperti yang dikatakan Ajip Rosidi  bahwasannya jika seseorang menuliskan hasil berfikir apalagi  bersikap kritis dianggap kurang ajar.  Henteu nyunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar